Senin, 20 Februari 2017

Ruslani, Guru yang Menjadi Langganan Qori di Pendapa

Sempat Jadi Abdi Dalem Kiai, Menajdi PNS karena Bejo

MUHAMMAD Ruslani merupakan guru MAN Bondowoso. Dia sering kalim menjadi qori atau pembaca Alquran din berbagai acara yang diadakan di pendapa Bupati. Ternyata ketika mengenal lebih dalam, perjalanannya penuh dengan liku.(SHOLIKHUL HUDA)

BEBERAPA gelas kopi di warung di sebelah MAN Bondowoso hari itu seakan menjadi penghangat suasana yang dingin akibat guyuran hujan. KEbetulan saat itu, para guru yang ngopi itu tidak memiliki jam mengajar. Sehingga mereka asyik menikmati kopi di tengah guyuran hujan.

M Ruslani, salah seorang guru pun tak ketinggalan untuk nimbrung dan menikmati kopi hari itu. Selama ini, M Ruslani sering mendapat tugas menjadi qori dalam berbagai acara. Begitu juga ketika ada agenda do pendapa, dia sering mendapat tugas menjadi qori. "Saya hanya bejo saja menjadi qori, sebab dulu saya paspasan, kalau dikatakan profesional ya tidak," ungkapnya merendah.

Dia menceritakan awal kali belajar qiro'at dahulu dimulai di tanah kelahirannya, yakni di Sumenep. Yakni saat dirinya kelas 3 Madrasah Ibtidayah. Awalnya Ruslani hanya mendengarkan saja. "Dalam bahasa maduranya Nok Ngonok'in, ngedingakin," ungkapnya.


Selanjutnya, pria kelahiran Sumenep 5 Februari 1980 ini melanjutkan studi di PP Al Amien, Prenduan Sumenep. Di sana kemampuan qori-nya ditempa lebih dalam. Apalagi dirinya bergabung di Jami'atul Qurro' Wa Huffad di Al Amien. "Saya lebih pada seni tilawah-nya," katanya.

Jadi disana, dia bersama santri lain belajar olah vokal. Karena letak pondok berdekatan dengan pantai, dia sering kali melatih olah vokalnya di pantai.

Kuliah tak Pernah Minta Uang Orang Tua

Namun berbicara dunia tilawah atau qiro'at, di Madura adalah gudangnya sehingga bisa dibilang dirinya hanya ikut-ikut saja. "Sebab banyak yang bisa melantunkan Alquran dengan sangat bagusnya," aku bapak dua anak tersebut.

Hanya saja, saat itu dirinya adalah abdi dalem atau orang yang ikut kiai. Sebab setiap harinya menjadi orang yang memasak di dapur. Hal itu diniatkannya karena memang kondisi orang tuanya yang sangat terbatas.

Sehingga untuk bisa mondok, dia ikut kiai sebagai abdi dalem. "Istilahnya koddam," tuturnya.
Saat itu dirinya sangat taat, bahkan pada saat memasak di dapur tidak boleh banyak berbincang-bincang.Harus perbanyak dzikir dan salawat. Sebab ketika kiai tahu, banyak perbincangan saat itu, langsung dikasih peringatan. "Intinya kami sangat takut, sebab apa yang saya masak adalah makanan untuk santri yang sedang mencari ilmu," akunya.

Keberadaannya di Ponpes Al Amien itu cukup lama. Yakni enam tahun. Sebab jika sekolah umum, enam tahun itu dalam sekolah SMP dan SMA. Namun di pondok, sekolahnya dibuat dalam sistem pembelajaran kitab, yakni Tarbiyatul Muallimin.

Setelah enam tahun berlalu, akhirnya dia menjadi guru tugas. Dia bertogas di Ponpes Nurul Hidayah, Sumenep. Bertahun-tahun dirinya menjadi guru tugas. Menariknya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, Ruslani sempat menjadi seler, tukang becak sampai tukang ojek.

Akhirnya dia mendapat kesempatan untuk menempuh D2 di IAIN Sunan Ampel Surabaya (Saat ini UIN Surabaya). Ditempuhnya pendidikan tinggi ini, membutuhkan peluh yang tidak sedikit. Sebab memang Rp 500 pun dia tidak meminta kepada orang tua untuk biaya kuliah. "Orang tua hanya saya pamiti," katanya.
Selanjutnya selesai menempuh D2 di Surabaya, dia berkunjung ke saudaranya di Bondowoso. Saat itu adalah awal kali dia ke Bondowoso, tepatnya 2005. Dia silaturahmi ke saudaranya di PP Al Fattah Pecalongan, Sukorasi. "Saya saat itu coba-coba ikut tes CPNS, dan masuk," akunya.

Namun awal kalinya dia galau. Sebab kiai di pondoknya sempat berkata, profesi sebagai pegawai negeri itu adalah pilihan terakhir jika memang tidak ada lagi. Akhirnya dia memberanikan diri menghubungi kiai. "Karena saya tidak sepersepun menggunakan biaya menjadi PNS, naka saya beranikan diri untuk meminta arahan kepada kiai," terangnya.

Ternyata saat itu ada jawaban yang dimaknainya bisa dilanjutkan. Sebab kiai saat itu memberi arahan Qul amantu billahi, tsummas takim. "Saya memaknainya bisa dilanjukan namun dengan jalan yang lurus," paparnya. Selanjutnya dia menetap di Bondowoso menjadi PNS di kemenag.

Mengenai ilmu qori-nya, dia memulai mengisi acara ketika ada hajatan pernikahan, dan qori yang direncanakan tidak hadir. Lantas dia ditunjuk tiba-tiba. Saat itulah awak kali dia menjadi qori. Dan sampai akhirnya seringkali ditunjuk sebagai petugas qori di pendapa bupati. "Saya menganggap semuanya karena bejo atau barokah," ungkapnya.

Di Bondowoso, dia lantas melanjutkan studi S1 di STAI At Taqwa. Namun dia belum puas, dan akhirnya menempu S2 di STAIN Jember. Program pasca sarjananya diselesaikan pada 2012. "Dan saya sampai S2, saya tidak meminta lima ratus rupiah pun dari orang tua, saya hanya meminta doa, dan saya yakin ada faktor bejo," pungkasnya. (hud)

Sumber: Jawa Pos Radar Ijen,31 Januari 2017

Disalin Kembali Oleh:(Yn)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar